Jangan sekedar bangga pada masa lalu

Artikel Prof. Satjipto Rahardjo (Kompas, 18/4/09) seolah ‘menyentil’ kita, khususnya mengenai masa lalu hubungan Indonesia-Belanda.  Semua itu memang telah menjadi catatan sejarah, tumpukan arsip dan kajian ilmiah yang justru membutuhkan kerelaan hati untuk mengubahnya menjadi sebuah aksi. Bukan sekedar catatan belaka

Indonesia memang mendapatkan tempat khusus dalam catatan sejarah Belanda. Bahkan dalam Canon van Nederland yaitu kumpulan tema sejarah utama Belanda (jumlah keseluruhan ada lima puluh tema), Indonesia masuk dalam salah satu tema. Bahkan jika merujuk ke nama sebelum Indonesia yaitu Hindia Belanda, dapat dikatakan ada dua tema lain yang menyinggung ‘Indonesia’. Masing-masing pada tema VOC dan Max Havelaar. Canon ini diperkenalkan tahun 2006 dan ditujukan untuk pendidikan baik dasar maupun menengah terbentang dari masa pra sejarah hingga modern. Selain dalam bentuk cetak, Canon ini bisa diunduh melalui situs www.entoen.nl

Memang tanpa Indonesia, Belanda khususnya pada abad ke-19 bukanlah apa-apa. Disertasi Teun Jaspers yang dikutip Prof. Satjipto menjadi catatan penting mengenai hal tersebut. Kondisi Belanda memang memprihatinkan dan dapat dikatakan terpuruk. Krisis identitas, konsentrasi pada Java Oorlog (Perang Jawa) pada 1825-1830 yang menguras kas negara, Belgische Opstand (Pemberontakan Belgia) pada 1830 hingga mereka melepaskan diri pada 1839 serta gelombang industrialisasi di Eropa memaksa Belanda berfikir keras untuk mengisi kas negara yang kosong. Maka diterapkanlah Cultuurstelsel pada 1830 oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch yang dalam kurun waktu empat puluh tahun menghasilkan 823 juta gulden (Mulder 1989:221). Keuntungan tersebut tidak hanya dinikmati oleh pemerintah tetapi juga oleh pihak swasta, Nederlandse Handel-Maatschappij (NHM) yang didirikan 1824. Perusahaan ini pula yang mengangkut produk Cultuurstelsel ke Belanda dan menjualnya di Belanda.

Sehubungan dengan Cultuurstelsel yang dalam historiografi Indonesia dikenal dengan tanam paksa ada hal yang menarik. Apakah dosa itu semata-mata harus ditujukan pada pihak Belanda sehingga membuat rakyat dan bangsa kita menderita? Bagaimana dengan bangsa kita sendiri yang juga ikut ‘mendukung’ proyek penghisapan besar-besaran terhadap rakyat itu?  Hal ini sebenarnya telah dijawab oleh Eduard Douwes Dekker alias Multatuli dalam Max Havelaar (1860), sebuah novel satir yang menurut Pramoedya Ananta Toer sebagai novel yang ‘membunuh’ kolonialisme. Pengaruh novel ini jelas mengguncang pemerintah Belanda hingga 1870 Cultuurstelsel dihapus.

Semua ini sebenarnya berhulu pada satu hal yaitu kekuasaan. Kekuasaan para kolonialis terhadap pihak yang dijajah sehingga pihak yang terjajah tak mampu berbuat apa-apa.  Namun, apakah yang akan terjadi jika pihak yang dijajah itu kelak mendapatkan kekuasaan?  Bisa saja mereka menjajah rakyat dan bangsanya sendiri.

Ada satu slogan terkenal dari Abraham Lincoln, demokrasi adalah kekuasaan dari, oleh dan untuk rakyat. Slogan ini menarik tetapi kenyataannya, kekuasaan tidak identik dengan rakyat melainkan dengan kaum elite. Kaum elite adalah bagian dari rakyat yang mengontrol akses pada sumber daya ekonomi dan politik, seperti finansial, informasi, pendidikan, status sosial, dan agama. Padahal mereka adalah kelompok minoritas yang jumlahnya kalau jauh dibanding rakyat. Kondisi inilah yang terjadi pada bangsa kita.

Anies Baswedan dengan menggunakan kerangka analisis Path Dependence (Historical Institutionalism), mengulas pola umum formasi elite Indonesia selama 100 tahun terakhir. Anies menjejaki jalur utama elite di Indonesia hingga abad ke-19 adalah garis keturunan bangsawan (aristokrat). Lalu bergeser ke elite intelektual, buah dari kebijakan Politik Etis pada awal abad ke-20. Jenjang elite tak terbatas berdasarkan keturunan dan status sosial melainkan melalui pendidikan. Robert van Niel (1984) menyebutnya sebagai Neo Priyayi.

Masa revolusi menggeser bandul formasi elite. Elite dari jalur militer memainkan peran penting. Elite dari jalur militer bersama elite intelektual dari periode berikutnya masih memainkan peranan hingga akhirnya formasi elite militer lah yang tampak dominan, jelas Anies Baswedan. Pada 1960-an, muncul bibit elite baru yaitu elite aktivis, meski elite militer masih memegang peranan hingga tumbangnya Soeharto pada 1998.

Pasca reformasi, jalur elite kembali berubah dengan munculnya elite dari dunia usaha yang mewarnai jejak formasi elite di Indonesia. Gegap gempitanya Pemilu 2009 lalu yang menarik ribuan caleg menandai babak baru jalur elite yang bisa ditempuh. Tidak hanya para elite politik senior, para artis dan kalangan biasa berupaya meraih posisi elite, posisi terhormat dalam masyarakat. Entahlah, apakah mereka benar ‘berjuang untuk rakyat dan bangsa’ atau justru kelak rakyat dan bangsa yang harus berjuang untuk mereka. Yang jelas kekuasaan bisa saja mengubah segalanya.

Kita boleh saja berbangga dengan sejarah. Namun, hendaknya jangan sekedar berbangga, lantas terbuai membiarkan diri tanpa memikirkan masa depan. Alangkah baiknya kita juga berupaya mengubah keterpurukan dan kehinaan menjadi kemuliaan demi masa depan bersama.

* Foto Jenderal Van den Bosch (sumber www.wikipedia.org)

1 thought on “Jangan sekedar bangga pada masa lalu”

  1. terkadang kita lupa apa tujuan kita hidup sehingga kebutuhan duniawi yang menjadi tujuan padahal itu merupakan suatu alat untuk kita mencapai tujuan hidup kita yaitu hanya mengabdi kepada Nya, semoga kita tak tuli dan buta untuk terus berjuang demi negeri ini menjadi lebih baik dan terhormat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *