‘Botol Tjebok’

Salah satu kebutuhan biologis manusia yang tidak kalah pentingnya selain makan adalah buang air, baik buang air besar maupun kecil. Tentu saja, orang boleh makan atau minum sebanyak-banyaknya tapi apakah makanan yang dikonsumsinya terus disimpan dalam tubuhnya? Pastilah makanan dan minuman itu setelah diurai dan digunakan oleh tubuh akan dibuang dalam bentuk sisa-sisa kotoran.

Sisa-sisa kotoran, baik dari hasil pencernaan atau saluran kencing harus disalurkan pada tempat yang benar. Jika tidak sisa-sisa kotoran tersebut akan menjadi sumber bibit penyakit berbahaya bagi manusia, misalnya disentri, kolera, dan tipus.

Kebiasaan membuang sisa-sisa kotoran pun mengalami perkembangan. Sosiolog Jerman Norbert Elias dalam The Civilizing Process: the History of Manners, menjelaskan habitus masyarakat pada abad pertengahan di Eropa yang belum mengenal toilet. Jadi mereka seenaknya saja membuang sisa-sisa kotoran tubuh mereka di mana-mana.

Pada masa VOC di Batavia beredar kisah mengenai asal-usul nama Betawi yang konon dari teriakan para prajurit Mataram: “Mambet tahi! mambet tahi!” (bau tahi!). Para bala tentara itu mundur karena diserang dengan kotoran manusia oleh pasukan kompeni yang kehabisan peluru. Kisah ini tentu perlu dibuktikan kebenarannya.

‘Dongeng Kota Tahi’ ini ternyata dipercayai oleh beberapa orang yang kemudian menuliskan catatan dan laporannya. Misalnya laporan Seyger van Rechteren, seorang krankbezoeker, pegawai VOC yang bertugas mengunjungi dan menghibur orang sakit. Ia tiba di Batavia 23 September 1629. Lalu seorang pedagang dari Jerman, David Tappen yang tiba di Batavia 1680. Bahkan T.S. Raffles dalam bukunya History of Java (1817) menulis situasi kompeni dalam Benteng Holandia atau Maagdelijn yang kehabisan peluru dan akhirnya menggunakan batu serta benda-benda keras lainnya sebagai peluru meriam. Raffles menulis, “…even this resources failed; and as a last expedient, bags of the filthiest ordure were fired upon the Javans whence the fort has ever since borne the name of Kota Tai…”

Sementara itu A. Heuken S.J., penulis buku Historical Sites of Jakarta (1982) menemukan ‘kisah peluru kotoran manusia’ di buku Die Gesantschaft der Ost-Indischen Geselschaft in den Vereinigten Niederlaendern an den Tartarischen Cham karya Johann Neuhof. Dalam buku tersebut dituliskan kemarahan pasukan Sultan Agung yang disiram kotoran manusia, “O seytang orang Hollanda de bakkalay samma tay!” ( O setan, orang Belanda berkelahi memakai tahi). Menurut Heuken, kata-kata ini mungkin kata-kata Melayu pertama yang tercatat dalam buku Jerman.

Masalah sisa-sisa kotoran manusia di Batavia ini juga menjadi penyebab utama naiknya angka kematian setelah tahun 1733. Sebelumnya pada 1732 Gubernur Jenderal Diederick Durven memberi perintah untuk menggali Mookervaart. Tujuannya untuk mengatur pemasokan air. Penggalian ini tak hanya menyebabkan berjangkitnya wabah dan kematian di kalangan para kuli Jawa (pada umumnya didatangkan dari Cirebon) serta penduduk di desa sekitarnya, tetapi meluas juga hingga Batavia. Tentu saja karena endapan tanah dari sungai tersebut mengandung tinja serta sampah penduduk.

Sebagai catatan, pada masa itu ada aturan kota yang menyebutkan bahwa tinja tak boleh dibuang ke kanal sebelum pukul sembilan malam. Aturan tersebut dikenal dengan folhans nonas horas , negen uur bloemen atau bunga-bunga pukul sembilan. Aturan ini sudah dikeluarkan sejak 1630. Pada masa itu rumah-rumah di Batavia belum memiliki kakus atau kamar mandi. Di Eropa saja wc dan saluran pembuangan air baru dikenal pada abad ke-19.

Pada 1918 di Hindia Belanda, diumumkan sebuah proyek kota kolonial. Sebuah proyek awal yang ambisius. Dua pemukiman modern baru dibangun di Batavia yaitu Menteng dan Nieuw Gondangdia. Pemukiman itu dirancang sebagai pemukiman kota besar khusus untuk orang kaya. Selain itu pipa-pipa untuk mengumpulkan kotoran di pemukiman itu direncanakan sekurang-kurangnya dari batas masing-masing pekarangan yang dihuni, demikian tulis Huib Akihary dalam Architectuur en stedebouw in Indonesië 1870-1970 (1988).

H.F. Tillema, seorang Belanda yang tinggal di Hindia Belanda, penulis Kromoblanda (1923) termasuk salah seorang yang memperhatikan masalah air, terutama urusan tinja. Dalam bukunya ia memberikan gambaran kontras yang dramatis, misalnya dalam satu halaman ia menyajikan foto jamban orang-orang pribumi yang paling jorok lengkap dengan orang pribuminya. Jamban mereka diberi cahaya buram sedangkan orang pribumi diberi cahaya baik. Tidak mengherankan jika salah seorang penulis biografi Tillema, E.H.F. Vanvugt menulis ‘Arsip-arsip Tillema itu adalah monumen studi tentang tinja di Hindia Belanda.’

Hal menarik adalah ketika urusan jamban menjadi isu politik penting pada masa kolonial. Misalnya artikel dalam  Soeloeh Indonesia (1927) yang menyebutkan bahwa “masih ada di antara orang ‘Indonesia’ yang menyukai gubuk daripada rumah dan ada sejumlah pelayan pribumi yang dapat mengotori wc ketika nyonya rumah tidak melihatnya. Hal tersebut tidak menyenangkan karena sama menjijikkannya dengan wc umum di Amsterdam. Di sana dinding-dinding khusus harus dibuat, miring ke bawah di atas lubang-lubang agar orang terpaksa duduk bila menggunakan tempat itu.”

Tidak hanya itu, masih dari Soeloeh Indonesia, mereka mengkritik diskriminasi dalam penggunaan jamban, bagi orang Eropa, orang Asia kelas tinggi dan orang Asia biasa. “Sebagian di antara kami yang mengenakan selendang asli atau kopiah harus membuang hajat di jamban biasa,” tulis Soeloeh Indonesia (1927). Perlakuan ini masih berlangsung hingga menjelang keruntuhan pemerintah Hindia Belanda. Pada bulan Maret 1941, sebuah koran Indonesia mencatat soal diskriminasi tersebut belum terpecahkan. Misalnya dalam sebuah bank setempat, di pintu-pintu jamban ada empat papan digantung. Masing-masing papan berisi tulisan: “1. Pimpinan; 2. Staf (kulit putih); 3 Orang Asia; 4. Juru tulis dan orang-orang lain.”

Ketika pertama kali ke Belanda pertengahan 90-an, saya singgah di rumah kenalan ayah saya di Den Haag. Satu hal yang menarik perhatian saya adalah tersedianya botol-botol di dekat toilet. Ketika saya tanyakan pada Oom Frans Wenner, sang pemilik rumah dia hanya tertawa lebar. “Itu untuk cebok!” katanya dengan logat Suroboyoan yang kental. Maklum ketika itu, belum ada selang khusus yang dipakai untuk membilas.

Rupanya kebiasaan membilas dibawa dari Indonesia. Ketika pindah ke Belanda banyak keluarga Indo yang menyediakan botol-botol khusus untuk cebok. Bahkan ada produk ‘Botol Tjebok’ yang khusus untuk membilas. Komposisi isinya yaitu air Belanda dan ekstrak pandan. Di petunjuknya juga disertai peringatan “untuk tidak memasukkan botol ke dalam pantat, bukan air minum, dan hanya menggunakan tangan kiri ketika cebok”. Sekarang ‘botol tjebok’ sudah tergantikan oleh toilet douche yang lebih praktis.    Namun, masalahnya tidak hanya sampai di situ. Awal tahun 2000-an ketika saya studi ke Belanda rupanya apartemen kami tidak menyediakan toilet douche, maka terpaksalah kami membopong botol Coca Cola atau minuman ringan lainnya yang berukuran 1,5 liter setiap akan buang hajat. Ditambah lagi di setiap lantai hanya ada satu kamar mandi dan satu toilet. Jadi ‘ritual’ ke toilet tampak lucu. Khususnya di beberapa lantai yang penghuni asal Indonesianya lumayan banyak. Mereka hilir mudik membawa botol keluar masuk toilet. Mungkin para penghuni apartemen non Indonesia akan bertanya-tanya apa yang kami lakukan di dalam toilet. Untung saja, botol yang kami bawa bukan botol bekas wine atau champagne! Mereka bisa saja mengira kami sedang ‘berpesta’ dalam toilet.

2 thoughts on “‘Botol Tjebok’”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *