Elena, mantan tetangga saya di Belanda menggeleng heran ketika ia menanyakan usia saya. ‘Kalian orang Asia ternyata awet muda. Wajah kalian tidak mencerminkan usia kalian!’ ujar gadis Bulgaria yang studi hukum di sebuah universitas di Belanda. Ia penasaran dan menanyakan rahasianya. Tentu saja, saya sendiri susah menjelaskannya. Hingga suatu ketika kami bersama-sama memasak di dapur yang khusus disediakan untuk para penghuni lantai di apartemen yang kami tinggali. ‘Aha..saya tahu rahasianya. Rupanya ini yang menyebabkan kalian awet muda! ’ serunya sambil menunjuk pada mi instan yang sedang saya masak.
Saya tertawa. Memang menurut mitos Cina, makan mi tanpa terputus dapat membuat umur menjadi panjang. Secara tradisional di antara masyarakat Cina, mi karena bentuknya yang panjang sering digunakan simbol umur panjang, dan selalu disajikan dalam pesta ulang tahun. Tetapi bukan hanya pada pesta peringatan ulang tahun, melainkan juga pada saat upacara pemakaman dengan harapan mereka yang ditinggalkan memiliki umur yang panjang .
Tiba-tiba saya teringat seorang kawan SMA yang kuliah di Universitas Indonesia. Sebagai anak kost, hampir tiap hari ia menyantap mi instant namun bukan umur panjang yang ia dapat melainkan awet muda alias meninggal dalam usia muda. Walaupun saya sendiri menyangsikan apakah benar ia meninggal lantaran banyak makan mi instan.
Mi memang makanan khas dan populer di Asia, khususnya di Asia Timur dan Asia Tenggara. Begitu terkenalnya, bahkan membuat para pedagang Eropa di masa Marcopolo yang pernah singgah di Cina, mengadopsi mi dalam masakan mereka. Maka saat ini kita dapat menikmati spaghetti , vermicelli dan pettucini yang mirip dengan mi.
Menurut cerita legenda, mi pertama kali dibuat di daratan Cina kira-kira 2000 tahun yang lalu di bawah kekuasaan dinasti Han. Dari Cina, mi berkembang dan menyebar ke Jepang, Korea, Taiwan, Indocina, Asia Tenggara, bahkan meluas ke seluruh dunia termasuk Amerika Serikat dan daratan Eropa. Dalam bahasa Inggris, mi disebut noodle yang sebenarnya berasal dari bahasa Jerman, nudel. Namun asal istilah tersebut tidak jelas.
Sebenarnya seni menggiling gandum dan pembuatan roti telah lebih dahulu berkembang di Timur Tengah: Mesopotamia, Mesir dan Persia. Logikanya, mi juga dikembangkan dan diajarkan sebagai lembaran roti yang tidak mengembang. Tampaknya di Cina, terutama Cina Utara, mi mendapat perhatian sangat khusus.
Menurut Denys Lombard dalam Le Carrefour Javanais ,ada empat jenis makanan khas yang cukup memasyarakat di Nusantara yaitu: mi, pangsit, tim sum dan bakso. Mi sendiri merupakan salah satu bahan makanan yang diproses dengan cara pengawetan. Proses ini di Jawa sudah dikenal sejak zaman Mojopahit. Alasannya karena istilah laksa yang masih digunakan di Semenanjung Malaka untuk menyebut semacam bihun muncul dalam piagam Biluluk yang bertahun 1391. Kata laksa ini kemungkinan berasal dari India. Wilkinson dalam A Malay-English Dictionary (Romanised) menyebutkan bahwa lakhshah berasal dari Persia atau Hindi, dan menjelaskannya sebagai “a kind of vermicelli”. Namun karena istilah itu sudah ada dalam bahasa Jawa abad ke-14, dapat dipastikan bahwa kata itu berasal dari bahasa Sanskerta, laksa yang berarti seratus ribu; mungkin karena banyaknya jumlah bihun dalam satu porsi.
Masuknya mi ke Nusantara tampaknya dapat juga menjadi hal yang menarik. Alasannya, mi merupakan hidangan khas Cina Utara. Sementara para pendatang dari negeri Tiongkok ke Nusantara, kebanyakan berasal dari Cina Selatan yang cenderung berkebudayaan beras/nasi. Mungkin saja, pengaruh dari utara masuk ke selatan dan orang-orang selatan inilah yang membawanya ke Nusantara.
Di samping itu seluruh kosakata dari masakan khas tersebut berasal dari Cina, seperti mi (mian) merupakan istilah umum untuk menyebut mi dari tepung beras maupun dari tepung terigu, kemudian bihun (mifen) dan misoa (mianxian) yang terbuat dari tepung beras, Iomi (lumian) dan kuetiao (guotiao) termasuk mi lebar yang berasal dari Fujian. Lalu so’un (fensi) yang terbuat dari pati kacang hijau serta yang terbuat dari tepung terigu dan beras yang disebut shomein. Ketika tepung soba (buck wheat) telah menjadi salah satu bahan pangan pokok, mulailah diperkenalkan mi dari soba.
Tidak lengkap pula jika kita melupakan ‘teman’ makan mi ini yaitu pangsit (bianshi, yang arti sebenarnya “makanan lonjong”) . Lucunya, kata itu dalam bahasa Tagalog menunjuk apa yang dalam bahasa Melayu disebut mi dan biasanya direbus atau digoreng.
Dalam suatu kesempatan saya sempat menyaksikan kebolehan seorang juru masak di sebuah hotel di Jakarta yang khusus didatangkan dari Cina dalam mengolah mi secara tradisional. Pembuatan mi dari terigu asal Cina Utara ini dilakukan dengan cara melempar-lempar adonan ke udara sehingga menjadi tali temali yang panjang, kemudian ditarik, dilipat dan dipotong sehingga menjadi seperti benang atau tali. Menurutnya, adonan mi yang dibuat dengan cara seperti itu dapat menghasilkan tali-tali tebal seperti macaroni. Dengan teknik khusus, yaitu jika penarikan dilakukan 12 kali dan pelipatan dilakukan sebanyak 11 kali maka akan menghasilkan produk mi yang disebut ‘mi jenggot’ atau ‘jenggot naga’. Mi jenggot naga biasanya disajikan sebagai hidangan penutup suatu pesta. Konon untuk menikmatinya, mi tersebut jangan sampai putus supaya umur Anda tetap panjang.
Berdasarkan kondisi sebelum dikonsumsi, mi dapat digolongkan ke dalam beberapa kelompok yaitu mi basah, mi kering, mi rebus, mi kukus serta mi instan baik dalam kemasan plastik maupun sterofoam (bentuk mangkuk atau cangkir). Khusus untuk Indonesia, kebanyakan yang dikonsumsi adalah jenis mi basah dan mi instan. Sedangkan mi kering (kan-men) merupakan mi yang paling populer di Jepang.
Di Indonesia pun kita mengenal bermacam-macam masakan mi yang dijajakan mulai dari penjaja keliling (gerobak, sepeda, sepeda motor), warung-warung tenda di pinggir jalan hingga restauran mewah. Masakan mi itu berupa mi baso (bakso), mi pangsit (mi ayam), mi goreng, mi rebus, mi kocok, mi kuah, soto mi. Padahal kalau diperhatikan bahan dasarnya nyaris sama yaitu sama-sama menggunakan mi basah. Seperti mi baso (dikenal dengan bakso) yang terdiri dari mi dan baso (rousu)., cacahan daging sapi giling yang dibentuk bulat-bulat. Biasanya dicampur dengan bihun (mifen) atau tahu (tofu). Terkadang dibubuhi sedikit cuka, garam dan bumbu penyedap. Lalu disiram kuah yang berupa air kaldu daging panas. Bila suka diberikan saus tomat, kecap dan sambal. Mi baso ini lebih dikenal sebagai bakso.
Lain halnya dengan mi pangsit yang dikenal dengan nama mi ayam. Mas Yon, seorang pedagang mi pangsit langganan yang biasa berjualan di daerah Cikini bercerita sambil melayani pelanggan. Untuk mi pangsit, mi-nya dilumuri terigu. Mi basah yang telah berbentuk bulatan sekepalan tangan dimasukkan ke dalam panci dandang besar berisi kuah kaldu. Sementara itu ia menyiapkan bumbunya di dalam mangkok. Ia masukkan sedikit minyak kaldu, bumbu penyedap, lada, sedikit garam lalu mi yang telah dimasukkan dalam air kaldu mendidih diangkat, ditiriskan dan diletakkan dalam mangkok. Di atasnya ditaburi tumisan daging ayam yang dipotong persegi, irisan daun bawang lalu dibubuhi saus tomat dan sambal bila suka. Kalau tidak ingin kering bisa diberi kuah. Tetapi terkadang kuahnya dipisah. Setelah itu diletakkan beberapa buah pangsit (bianshi). Dari hasil berjualan ini, ia telah memiliki rumah dan tanah di kampungnya di Solo.
Adalagi menu yang berhubungan dengan mi yaitu mi kocok. Saya cenderung menyatakan mi ini mirip dengan soto mi. Hanya cara mengolahnya yang berbeda. Soto mi diolah mirip dengan mi baso tetapi ditambah kol, lemak daging, irisan tomat, dan potongan risoles sementara mi kocok, semua bahan dimasukkan ke dalam satu sendok khusus lalu direndam dalam kuah di panci besar yang berbentuk dandang.
Bertugas di Makassar pun saya tidak terlepas dengan makanan mi. Namun mi di sini cukup unik meskipun bukan makanan tradisional Makassar. Sebuah rumah makan di tengah kota Makassar dipagi dinihari itu, tepatnya di perempatan Jalan Bali dan Lombok, selalu ramai didatangi pengunjung. Nyaris tak pernah kosong.
Di bagian depan rumah makan yang terpampang papan bertuliskan Mi Titi, seorang juru masak sibuk menumis bumbu di penggorengan besar di atas tungku arang. Tungku arang ini menjadi ciri khas dalam mengolah hidangan ini. Bau harum pun menyergap hidung. Berturut-turut ia mencampurkan campuran daging, rempela, dan hati ayam, potongan bakso dan sayuran sawi hijau. Ketika tampak matang, ia masukkan air dari panci besar yang penuh campuran tulang, leher, sayap. Rupanya itu semacam kaldu. Tiap kali air kaldu berkurang, air di panci terus ditambah.
Di samping penggorengan itu ada meja besar. Di atasnya berjejer piring-piring yang berisi mi. Mi yang dimaksud bukan mi basah melainkan mi yang sudah digoreng kering dan garing. Hampir menyerupai kerupuk. Setelah kuah berisi campuran ayam dan sayur matang, juru masak mengentalkan kuah dengan campuran tepung maizena dan kocokan telur ayam. Lalu siap mi di atas piring disiram dengan kuah itu. Mi kering pun siap disantap.
Menurut salah seorang dosen senior Unhas yang juga mahasiswa angkatan pertama Unhas, dr Lies Radjawane , mi kering ini sudah ada sejak tahun 50-an dan ditemukan oleh Angko Cauw, seorang warga keturunan Tionghoa yang telah lama tinggal di Makassar di Jalan Bali. Sedangkan Mi Titi merupakan rumah makan milik putra kedua Angko Cauw yang dibuka tahun 60-an.
Cara menikmati masakan mi pun cukup unik , biasanya dengan supit. Penggunaan supit ini juga diimpor dari negeri asal mi, Cina . Mereka yang tidak mahir akan frustasi dan berjuang dengan susah payah menikmati mi. Tapi mereka bisa juga menggunakan sendok. Seperti yang digambarkan Pramoedya Ananta Toer bagaimana Minke, tokoh dalam novel Jejak Langkah menikmati mi dengan campuran champignon, jamur merang dan sedikit daging serta kuwah berlemak menggunakan sendok tanpa garpu ketika dijamu oleh seorang gadis Tionghoa, Ang San Mei.
Almarhum Umar Kayam pun memiliki cerita sendiri mengenai mi ini. Di saat tubuhnya diserang flu yang menghilangkan nafsu makannya maka menu bakmi godog (rebus) panas dengan sambal botol menjadi menu sehari-hari. Saat sarapan, makan siang bahkan makan malam hingga dirasa sang lidah dan selera makan kembali normal. Mi rebus dan obat flu seolah menjadi resep mujarab baginya.
Dengan adanya kemajuan teknologi, kita semakin dimudahkan. Begitupula dengan perkembangan mi. Mesin pembuat mi pertama ditemukan oleh T. Masaki di Jepang tahun 1854.. Tahun 50-an mulai dikembangkan Chicken Ramen, ramen merupakan ucapan lain dari lumian, Iomi dalam bahasa Cina untuk mi. Ini merupakan cikal bakal mi instan yang kita kenal sekarang. Tahun 1962 muncullah mi instant baru Saporo Ramen. Ibu saya pada pertengahan tahun 60-an sempat menikmati mi instan tersebut dengan kemasan yang cukup sederhana. Teknologi terus berkembang. Untuk menjaga kesegaran mi dalam jangka waktu lama, ditemukan teknologi pembekuan dan pengeringan tahun 1974. Tahun 70-an dapat dikatakan puncak dari produksi mi instan secara komersial. Hingga kini, ada bermacam-macam merek mi instan serta berbagai macam rasa yang dikombinasikan dengan aneka resep di seluruh Nusantara.
Mi yang dulunya hanya dikenal dalam keadaan basah, dan jika kita ingin menikmatinya harus menunggu penjual atau pergi ke warung saat ini telah dikemas dalam bentuk mi instan. Kita dapat menyajikan dalam waktu yang singkat tanpa mengenal waktu. Baik siang maupun tengah malam sekalipun.
Bahkan mi instan pun saat ini menjadi makanan yang ditunggu-tunggu terutama bagi mereka yang tertimpa musibah kebakaran, kebanjiran maupun dalam konflik. Di layar televisi kita melihat beribu-ribu kardus mi instan siap dikirimkan kepada mereka yang membutuhkan. Tidak mengherankan mi instan tidak hanya menjadi makanan wajib para anak kost tetapi juga para pengungsi. Setidak-tidaknya mitos bahwa makan mi membuat umur menjadi panjang terbukti. Panjang umurnya…dengan mi.
mi…??? saya melakukan berbagai macam cara untuk bisa mendapatkan sebanyak mungkin informasi tentang mi. Mulai dari sejarah, perjalanan perkembangan mi, sampai berbagai istilah yang ada -yang ternyata berbeda-beda disetiap negara–dan saya bisa mengatakan …usaha ini cukup “berhasil”. At least, sekarang ini saya bisa banyak bercerita tentang mi kepada siapapun yang tertarik.
Bermula dari hobi “suka incip-incip” atau mencicipi setiap resto/tempat makan baru. Namun sebenarnya dari sekian model makanan, saya lebih suka seafood. BAgaimana dengan mi? tidak masalah , selama dalam campurannya ada aroma “laut”. 🙂 Lalu mengapa saya harus hunting sekian banyak referensi tentang mi? karena profesi saya penyiar. Di radio tempat saya berkarya, ada kuis dengan sponsor perusahaan besar penghasil berbagai model mi (indofood). Dan saya sendiri yang memandu acaranya, memformat acaranya, bahkan menyiapkan setiap detil kuis perusahaan mi tersebut.
Dan saya rasa mi…memang bukan makanan penambah umur. Itu sih secara logika saja. Tapi kalau di logika lagi…bahwa makan mi yang tidak putus bisa menambah panjang umur…yah bolehlah. Lumayan pas (digunakan sebagai simbol) :-). Apalagi saya memang paling hobi memasak mi instan tanpa meremuknya dulu. Sengaja saya biarkan panjang, karena memang ada keasyikan tersendiri ketika memakannya. Merasa hebat karena mi-nya nggak putus. DAn hobi itu sudah ada sebelum saya tahu mitos tersebut.
Dan satu lagi….dirumah, diantara saudara saya….cuma saya yang punya hobi makan mi tanpa di remuk 🙂 Karena dengan begitu tidak ada yang ingin mencicipi, malas harus repot memotong mi saya dulu. dan bebaslah saya dari gangguan saudara-saudara saya yang suka usil incip-incip..(ups. .saya juga usil).
Mungkin kebiasaan saya ini, secara tidak langsung menunjukkan bahwa saya juga penggemar mi, penyuka mi, maniak mi,…atau apalah namanya. Tapi secara pribadi…susah untuk mengakui bahwa saya juga “penggila mi”. karena saya tidak suka “mi ayam”, “bakmi goreng”, “laksa”.
Betulkan, …..saya bukan penggila mi?.
Saya hanya orang yang “bisa makan mi”
salam sejahtera selalu, hoby makan nya ya, informasinya lengkap sammpai luar negri segala , tapi untuk kota solo kok belum ada ya, mungkin bisa saya tambahkan di blog saya , dan tempat – tempatnya .