Rindu Tempe

Berita perajin dan pengusaha tempe-tahu yang berunjuk rasa kalah dengan berita kondisi kesehatan Pak Harto. Maklum saja, hampir setiap jam kondisi terakhir Pak Harto terus diberitakan. Padahal persoalan tempe-tahu pun tak kalah pentingnya.

Bicara mengenai tempe, sepertinya kita langsung menghubungkan dengan orang Jawa. Alasannya seperti yang diungkapkan sejarawan Ong Hok Ham, masakan tempe hanya dijumpai dalam kuliner Jawa. Sedangkan masakan Padang, Bali, Menado apalagi Makassar tidak mengenal tempe.

Dalam Encyclopaedia van Nederlandsch Indië (1922) disebutkan bahwa tempe yang terbuat dari kacang kedelai merupakan hasil fermentasi dan merupakan makanan sehari-hari penduduk. Mungkin sebaiknya kata penduduk, menurut Pak Ong dapat ditambahkan, menjadi penduduk Jawa.

Jauh ke masa silam dituliskan: “...Kadhele tempe srundengan, lombok kenceng lawan petis, gadhon rempah yem manjangan, gorengan empal lan gangsir, barongkos lawan masin, krupuk miwah sambel balur…” (Sinom 42, 43). Ini diambil dari kisah dalam Serat Centhini (Jilid 12) yang menggambarkan perjalanan Jayengresmi alias Amongraga –salah satu putra Sunan Giri – sampai di Dusun Bustam. Di tempat ini, mereka dijamu oleh Ki Arsengbudi dengan berbagai makanan dan salah satunya tempe kedelai.

Rupanya kedelai yang ditulis kadhele itu tidak hanya termuat dalam Serat Centhini jilid 12 saja. Namun juga disebutkan di jilid 2 dan 3. Sementara itu kata kedelai yang ditulis kadele juga ditemukan dalam Serat Sri Tanjung, yang menggambarkan legenda tentang kota Banyuwangi. Diperkirakan latar waktunya pada abad ke-12 atau 13.

Pada masa pendudukan Jepang, para tawanan perang diberi ransum tempe agar terhindar dari disentri dan busung lapar. Mungkin hal ini yang mengilhami para penyusun menu ransum warga binaan di lembaga-lembaga pemasyarakatan untuk memasukkan tempe sebagai salah satu lauk.

Tempe dan tahu memang hidangan yang hampir selalu tersedia di meja makan bangsa kita. Mulai dari kelas warteg hingga restoran masakan yang mengandung unsur tempe dan tahu selalu tersaji. Tempe dihidangkan bersanding dengan daging, telur atau ikan.

Waktu SMA dulu, bila tanggal tua, nasi, sayur plus tempe menjadi hidangan favorit di warteg langganan dekat sekolah. Bahkan ada beberapa teman yang ‘terpaksa’ berhutang

Saya teringat pengalaman beberapa tahun lalu ketika ditugaskan di Ujung Pandang (sekarang Makassar). Sebuah tulisan dengan kapur di sebuah pintu kelas kampus tempat saya mengajar cukup mengusik. Isinya: “Jawa pulang ko!” Tulisan itu mengingatkan saya pada tulisan “Dutch Go Home!” pada tahun 40-an usai Proklamasi Kemerdekaan. Saya merasa menjadi mirip ‘penjajah’ meskipun kedatangan saya ke Sulawesi semata-mata karena tugas.

Tulisan dengan kapur itu bukannya tanpa alasan. Ketika itu sedang ramai-ramainya upaya menurunkan Habibie dari tampuk kepresidenan. Beberapa mahasiswa mendatangi tugu Mandala dan mengibarkan bendera Sulawesi Merdeka. Mereka tidak ingin Habibie turun dari kursi presiden. Perasaan saya menjadi semakin tak enak. Mungkin karena saya merasa berasal dari Jawa. Kalau memang harus pulang ke Jawa, yah pulanglah saya meskipun baru beberapa bulan di sana.

Seketika itu pula saya teringat dengan tempe. Maklum, selama beberapa bulan tinggal di sana, saya selalu disuguhi berbagai hidangan dari ikan. Belum pernah menikmati tempe walaupun sekedar tempe goreng. Hmm!

Pada tahun 80-an saya pernah membaca di sebuah majalah wanita ibukota bahwa tempe dapat dijadikan alternatif makanan para vegetarian. Hidangan alternatif yang disajikan itu berupa burger tempe. Dengan demikian kita memiliki variasi hidangan tempe yang lain selain digoreng, dipanggang atau disayur.

Pembuatan tempe pun biasanya merupakan industri rumahan dan menggunakan tenaga manusia. Rasanya akan lebih enak jika tempe itu dibuat dengan tenaga manusia lalu dibungkus dengan daun pisang dibanding dengan buatan mesin serta dibungkus plastik seperti sekarang.

Ironisnya bahan baku tempe yaitu kedelai, 70 persen masih harus diimpor. Diimpornya pun dari Amerika, kampung Kolonel Sanders yang juga merambah Indonesia dengan ayam goreng tepungnya. Belum lagi tempe yang dipatenkan oleh Jepang. Bisa jadi jika Jayengresmi masih hidup akan geleng-geleng kepala.

Tempe memang makanan rakyat yang murah meriah. Hidangan yang tidak pandang pangkat dan usia serta dapat dinikmati dalam keadaan hangat maupun dingin. Presiden Soekarno pun menggemari tempe. Ironisnya, presiden Soekarno pernah mengatakan untuk tidak menjadi generasi tempe. Jangan mau jadi “bangsa tempe” atau bangsa yang diinjak-injak bangsa lain, serunya. Suatu hal yang merendahkan tempe. Mungkin saja maksudnya tempe yang lembek atau tempe bongkrek yang berasal dari ampasnya tempe. Kini tempe menghilang. Ah..”bangsa tempe” ini jadi rindu tempe!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *