“Semarang, like Cheribon, is the capital of a residency of the same name as itself and lies at the mouth of a river also of the same name. There is nothing in its appearance from the sea to give one any idea that he is approaching a city of over 97,000 inhabitants and the third city of Java in commercial importance.” Demikian tulis Arthur S. Walcott dalam bukunya Java and Her Neighbours (1914).
Saya lalu mengambil buku lain, Isles of the East: An Illustrated Guide to Australia, Papua, Java, Sumatra (1912). Di sana tertulis: ‘SAMARANG is an important commercial town, and the new port, which is in course of construction, will doubtlessly add to the prosperity of the town.’
Buku lain Guide Through Netherlands India (1903) menuliskan: ‘Travelling from Batavia to Samarang, the principal seaport of Mid-Jawa, it is better to make use of the direct steamers of the Packet Company, which, in twenty-four hours accomplish the passage over the generally very calm sea. The steamers, which call at the coasting-places Cheribon at the foot of the isolated volcano Tjerimai, 93070 m.high), Tegal (behind which rises the smoking Slamat, 3427 m.high), and Pekalongan (with the Prahoe mountain, 2500 m.) taka a day longer.’
Saya berhenti membaca lalu melanjutkan dengan buku yang lain. Sebuah catatan dari Alleta Jacobs, perempuan pertama Belanda yang menjadi dokter setelah menyelesaikan pendidikan tingginya di Universitas Groningen. Alleta sempat mengunjungi Semarang. Dalam catatannya Reisbrieven uit Afrika en Azie, benevens eenige brieven uit Zweden en Noorwegen (1913) ia menulis: “Batavia maakte op ons, want mijne reisgenoote denkt er ook zoo over, den indruk alsof de gegevens er zijn om er een mooie stad van te maken, maar dat men nog maar steeds met den opbouw niet begonnen is. Semarang is daarentegen af, de stad staat er en mag zich laten zien en bewonderen. Maar, behalve dat de stad als zoodanig een bezoek waard is, biedt zij overigens voor toeristen niet veel merkwaardigs. Ook bleven wij er niet lang genoeg om sociale instellingen te gaan zien. het nieuwe hospitaal moet, zooals mij gezegd werd, het beste van heel Java zijn.”
Saya menutup buku-buku itu sambil membayangkan Semarang, kota yang akan saya kunjungi. Pertengahan April lalu saya pun tiba di sana.
Ketika saya masih kanak-kanak, pada saat melakukan perjalanan lintas Jawa bersama keluarga, kota Semarang hanya kami lewati. Jadi terus terang, saya sama sekali tidak ada bayangan mengenai salah satu kota penting di Jawa ini. Selain merupakan ibukota provinsi Jawa Tengah pada masa kini, pada masa kolonial kota Semarang juga memegang peranan yang tidak kalah penting. Pada 23 Mei 1920, Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) didirikan di Semarang.
Namun, perjalanan ke Semarang kali ini bukan untuk liburan. Saya mendapat undangan dari Akaba 17 Agustus dan Yayasan Budaya Widya Mitra Semarang untuk menghadiri Simposium Akulturasi Indonesia-Belanda dalam rangka 20 tahun Program Studi Belanda Akaba dan 18 tahun Yayasan Budaya Widya Mitra. Selain saya, beberapa mahasiswa Program Studi Belanda FIB UI juga diundang untuk tampil memeriahkan konser penyanyi dari Belgia, Eva De Roovere di Auditorium RRI Semarang.
Seperti halnya perjalanan sewaktu menghadiri konferensi internasional IAHA di Solo bulan Juli 2012 lalu, saya memilih menggunakan kereta. Ada beberapa alasan saya menggunakan transportasi tersebut. Pertama, perjalanan ke bandara yang menurut saya lebih lama (lebih menegangkan) dibandingkan ke stasiun serta tidak adanya kesempatan menikmati pemandangan sepanjang perjalanan.
Ada beberapa hal yang menurut saya cukup menarik sepanjang perjalanan menuju Semarang. Posisi kursi yang ada di sebelah kiri rupanya sangat menguntungkan. Setelah beberapa jam duduk, lepas kota Pekalongan, kita akan disuguhi pemandangan yang luar biasa. Pemandangan Laut Jawa dari sudut pandang yang berbeda. Apalagi jika kita melihatnya dari arah kereta.
Memasuki Stasiun Tawang, cuaca panas menyambut. Rombongan kami disambut Ibu Inge, Koordinator Program Studi Belanda Akaba 17 Agustus.
Sekilas di tengah perjalanan menuju tempat penginapan di daerah Singosari, saya melihat Kota Lama Semarang dengan bangunan-bangunan kunonya.
Sore hari, saya berniat wisata kuliner, meskipun sedikit agak khawatir lantaran akhir tahun lalu terpaksa istirahat total karena urusan perut. Akhirnya, saya memutuskan menuju kawasan Simpang Lima. Rupanya godaan terlalu besar, maka saya mengudap Tahu Gimbal. Saya tidak makan di tempat tetapi take away alias dibungkus. Saya menikmatinya di penginapan.
Malam hari, kami menuju Lawang Sewu. Saya berpikir lumayan juga buat uji nyali. Dari penginapan kami menggunakan taksi. Dari kejauhan tampak bangunan Lawang Sewu yang bergaya Art Deco. Setelah membayar tiket masuk sebesar Rp. 10.000 per orang, kami pun masuk.
Sebenarnya Lawang Sewu merupakan kantor Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), Perusahaan Kereta Api Hindia-Belanda. Bangunan yang berada di bundaran Tugu Muda ini dibangun pada 1904 dan selesai pada 1907. Mengapa di sebut Lawang Sewu (Pintu Seribu), apakah karena jumlah pintu bangunan yang sangat banyak hingga mencapai seribu pintu?. Sebenarnya, jumlah pintu bangunan itu tidak sampai seribu (saya tak perlu menghitungnya). Ukuran jendela bangunan yang tinggi dan lebar (mengingatkan saya pada rumah Kakek saya di Cikini) seperti pintu membuat masyarakat menganggapnya sebagai pintu (lawang).
Rupanya bangunan ini memiliki ruang bawah tanah. Saya pun teringat tawaran seseorang dari National Geographic yang meminta saya untuk menjadi asisten riset terkait dengan bangunan-bangunan kuno yang memiliki ruang bawah tanah. Salah satunya, Lawang Sewu ini. Beberapa mahasiswa memutuskan untuk masuk ke ruang bawah tanah, sedangkan saya memilih mengamati bagian lain dari bangunan itu. Di tempat penjualan tiket, saya membeli suvenir magnet kulkas bergambar Lawang Sewu.
Keesokan harinya saya menghadiri Simposium. Selain membawakan makalah, saya ingin sekali bertemu dengan Bapak Jongkie Tio, pemilik restoran Semarang dan penulis buku Kota Semarang dalam Kenangan dan Semarang City: A Glance into the Past juga menjadi pembicara dalam simposium itu. Usai acara pembukaan saya memberikan buku saya kepada beliau. Sayang kami tidak sempat bercakap-cakap lebih lama. Beliau sempat menawari saya untuk singgah.
Usai acara saya bergegas membeli oleh-oleh untuk teman-teman di kantor dan keluarga di rumah. Tanpa pikir panjang saya menuju kawasan Pandanaran, pusat oleh-oleh. Pesanan lunpia untuk istri tercinta, wingko babat serta beberapa penganan kecil ditunaikan. Lalu saya menuju toko buku Merbabu untuk membeli buku Pecinan Semarang dan Dar Der Kota karya Tubagus P. Svarajati yang juga direkomendasikan oleh Pak Jongkie. Malamnya saya menyaksikan penampilan mahasiswa Program Studi Belanda FIB UI dan konser Eva De Roovere.
Esok paginya kami kembali ke Jakarta. Di tengah balutan kantuk di mata, terngiang di benak saya penggalan lirik lagu Semarang kaline banjir, Jo semelang rak dipikir….Dua hari kemudian, Stasiun Tawang terendam banjir.