Antara Non-Fiksi dan Fiksi

Gerry Lane, mantan pegawai PBB yang diperankan Brad Pitt dalam film World War Z (2013) akhirnya mampu berpacu melawan waktu mencari vaksin sebuah virus mematikan setelah berhadapan dengan para mahluk mengerikan ala zombie. Namun, pandemi Covid-19 yang melanda dunia seperti berperang melawan diri sendiri. Musuh yang dihadapi pun tak tampak dan ini bukan fiksi. Kisah masih berlanjut.

Meskipun slogan memerangi Covid-19 dikumandangkan dengan lantang, seperti ‘Lawan Corona!’, ‘Lawan Covid!’, disertai penutupan dan pembatasan wilayah, satu-persatu korban terus berjatuhan. Jumlah korban semakin banyak, bertambah bak angka-angka yang tak memiliki arti. Mulai dari kalangan yang jauh dari diri kita hingga lingkaran dekat dan orang yang kita cintai. Kemarin mereka tampak sehat, hari ini telah menghadap Yang Kuasa.

Genap setahun pandemi Corona atau Covid-19 melanda seluruh dunia. Kebiasaan, ritual yang biasanya kita jalani harus berubah. Kita pun dipaksa untuk beradaptasi dan hidup berdampingan dengan situasi pandemi. Tidak lagi sekedar melawan atau berperang. Kehidupan normal yang baru disertai protokol kesehatan ketat meskipun sudah divaksinasi tetap harus kita jalani. ‘Tetap waspada!’, pinjam slogan Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson.

Saya teringat pada akhir bulan Februari 2020 lalu sebelum pihak Universitas Indonesia tempat saya bekerja memberlakukan bekerja dari rumah atau istilah asingnya work from home dan anak kedua saya harus belajar dari rumah, kami sekeluarga sempat mengunjungi gerai Gramedia di Mal Pejaten Village. Kunjungan itu ternyata kunjungan terakhir kami ke toko buku. Ketika itu belum terpikir bahwa pandemi Corona mengubah segalanya dan dalam bulan-bulan ke depan kehidupan lebih banyak berlangsung di dalam rumah. Sebelum pandemi, biasanya kami sekeluarga tiga atau empat kali dalam sebulan mengunjungi toko buku.

Sebenarnya kami dapat saja memberi buku-buku secara daring. Namun, ada suasana tertentu yang hilang dan sepertinya tidak dapat tergantikan. Menelusuri deretan sampul buku-buku yang terpajang di rak, menyentuh, membuka dan membalik lembaran-lembaran kertas, dan membaui bau khas kertas buku baru merupakan kegiatan yang mengasyikkan. Suatu pengalaman sensori yang menyenangkan bagi para pecinta buku fisik. Jika mendesak, sesekali saya membaca buku elektronik/digital yang ternyata tidak dapat menggantikan membaca buku fisik.

Sejak ketiga anak-anak kami masih balita, mereka sudah kami biasakan bertamasya ke toko buku atau perpustakaan. Mereka boleh memilih buku-buku kesukaan masing-masing. Khusus bagi si sulung yang kami panggil ‘abang’ karena sejak tingkat sekolah dasar ia memilih homeschooling, ia wajib membaca sejumlah buku. Lalu, ia melaporkannya secara lisan atau dalam bentuk tulisan. Pada masa pandemi ini justru ia tidak berdampak sama sekali seperti teman-teman sebayanya karena ia telah terbiasa belajar mandiri. Buku-buku kesukaannya adalah serial Bumi (2014-2020) karya Tere Liye yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Ia mengoleksi secara lengkap seri tersebut dan telah membaca mulai dari Bumi hingga Nebula. Secara keseluruhan ada sembilan buku dengan jumlah halaman setiap buku sebanyak 350-400-an halaman. Ia menghabiskan waktu rata-rata mulai dari sehari hingga seminggu untuk setiap buku yang ia baca. Sesekali ia membaca salah satu novel Agatha Christie yang dikoleksi lengkap oleh istri saya. Rasa ingin tahun si sulung muncul setelah ia menonton film Murder on the Orient Express (2017).

Sementara kedua adik perempuannya gemar membaca komik dan buku anak-anak. Salah satunya adalah buku terjemahan karya Beatrix Potter seri pustaka Peter Rabbit yang juga diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Seri pustaka Peter Rabbit (2017)merupakan kisah kehidupan hewan, seperti kelinci, tupai, tikus, bebek, dan kucing. Si bungsu yang belum lancar membaca terkadang minta dibacakan oleh saya salah satu dari seri itu. Suatu ketika, saya melihat dia asyik membuka-buka buku Kisah Peter Kelinci sambil berbicara sendiri, seolah-olah sedang membaca.

Beberapa hari sebelum pihak universitas memutuskan menutup kampus dan mengeluarkan kebijakan bekerja dari rumah, bagian atap di kamar kerja saya di lantai atas terbang terbawa angin kencang. Tak lama hujan deras mengguyur. Separuh bagian kamar kerja sukses basah disiram hujan. Maka, terpaksa koleksi buku-buku yang ada di sana diselamatkan dan dipindahkan ke kamar bawah. Sepertinya, peristiwa itu ada hikmahnya karena beberapa hari kemudian, universitas ditutup dan saya bekerja dari rumah. Buku-buku yang diturunkan tersebut sebagian kemudian digunakan sebagai sumber referensi untuk berbagai kegiatan pada masa pandemi.

Pada saat awal kebijakan bekerja dari rumah diterapkan, saya sempat tergagap mengubah kebiasaan. Sebelum pandemi, jika ada jam mengajar di pagi hari, pukul tujuh pagi harus telah siap menuju kampus. Sore hari, jika tidak ada pekerjaan mendesak atau mahasiswa yang berkonsultasi, sekitar pukul empat sore sudah kembali ke rumah. Semua kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan saya selesaikan di kantor. Di rumah, jika ada pekerjaan yang memang sangat penting, saya masih bersedia mengerjakannya. Dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.

Pada masa normal tersebut, justru kebiasaan membaca agak terganggu dan saya sepertinya kesulitan mencari waktu membaca. Kegiatan rapat, seminar, konferensi, diskusi, pelatihan di dalam dan luar kampus, bahkan berbagai kegiatan di luar kota membuat kegiatan membaca saya, pinjam ungkapan Pak Fuad Hassan dalam pengantar Bukuku Kakiku (2004), menjadi hanya untuk mengisi waktu (to fill time). Biasanya setiap bepergian saya membawa satu atau dua buku yang saya ambil secara acak dari rak buku. Lalu saya membacanya di bandara, stasiun, pesawat, kereta atau kamar hotel.

Namun, pada masa pandemi, kebiasaan dan rutinitas berkegiatan seperti di dalam dan luar kampus tidak berlaku. Jadwal mengajar masih tetap dibuat seperti situasi sebelum pandemi, tetapi kami tidak diwajibkan selalu tatap muka dengan mahasiswa pada waktu bersamaan atau disebut sinkronus. Selain itu kami dapat menggunakan pembelajaran asinkronus dengan menggunakan berbagai media, seperti surat elektronik, whatsapp.

Beruntung, pihak universitas pada tahun 2019 telah menyediakan sistem E-learning Management Systems (EMAS) yang mengakomodasi perkuliahan daring. Ketika itu sifatnya masih anjuran dan belum wajib. Saya pun sempat mempelajarinya dari beberapa rekan di program studi dan memanfaatkannya untuk beberapa mata kuliah. Ketika pandemi Covid-19 merebak dan pihak universitas memutuskan pembelajaran jarak jauh, kami dipaksa mempelajari lebih serius dan menggunakan sistem tersebut, khususnya untuk persiapan pembelajaran asinkronus. Kendalanya adalah jaringan internet. Jika pada masa normal, alasan macet biasa kita dengar, kali ini tidak ada jaringan atau jaringan putus-nyambung menjadi alasan yang biasa kita dengar.

Kegiatan bepergian yang sebelumnya lazim dilakukan pada masa sebelum pandemi menjadi salah satu kegiatan yang dilarang oleh pihak universitas. Beberapa kegiatan yang telah dijadwalkan pada 2020 terpaksa dibatalkan. Sebenarnya pada bulan Maret-April 2020 saya diminta menjadi dosen tamu untuk memberikan kuliah di Singapura dan Bukittinggi. Lalu berikutnya rencana penelitian di Gresik dan wilayah timur Indonesia. Semua kegiatan tersebut dibatalkan dan disesuaikan. Kegiatan di Singapura dibatalkan, sedangkan kegiatan di Bukittinggi dilakukan secara daring pada bulan November 2020. Sementara itu kegiatan penelitian, terutama pengambilan data di lapangan dialihkan pada penelusuran pustaka dan penulisan artikel.

Beberapa buku dan kamus koleksi yang dipindahkan dari kamar atas ternyata dapat digunakan dalam kegiatan yang beradaptasi dengan situasi pandemi. Beberapa buku yang saya gunakan adalah Nusa Jawa: Silang Budaya jilid 1-3 karya Denys Lombard (2000), seri Mata dari Okky Madasari (2018, 2019), Tanah Para Leluhur. Petualangan Elio Modigliani di Nias Selatan Tahun 1886 karya Vanni Puccioni (2016). Bahkan saya juga menggunakan Kamus Inggris-Indonesia karya Hassan Shadily dan John M. Echols, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mendukung penulisan beberapa artikel untuk beberapa seminar dan hasil penelitian.

Oleh karena Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional untuk sementara ditutup, maka penelusuran data terpaksa dilakukan secara daring. Beberapa perpustakaan di luar negeri yang sudah mendigitalisasi koleksinya menjadi tujuan utama. Saya pun ikut mengambil manfaat. Penutupan gerai-gerai toko buku seperti Gramedia tidak terlalu berpengaruh karena buku-buku yang diperlukan masih dapat dipesan secara daring. Ketika Perpustakaan Nasional akhirnya kembali dibuka dengan pengunjung terbatas segera saya mengumpulkan data yang diperlukan. Sebelumnya saya menelusuri data melalui katalog Perpustakaan Nasional sehingga ketika sampai di sana, hanya tinggal memesan, tidak perlu berlama-lama.

Sementara itu untuk menyiapkan bahan-bahan referensi perkuliahan, saya harus membaca dengan ‘cepat’ dan menyeleksi artikel-artikel atau buku-buku yang diperlukan. Kebiasaan ini saya lakukan ketika dalam proses menyelesaikan studi magister dan doktoral. Saya membaca banyak buku, menyeleksi, dan mencatat bagian-bagian penting. Selain itu, saya berselancar di dunia maya atau mayantara mencari referensi yang diperlukan dalam bentuk digital. Jika memang tidak ada versi digitalnya, maka saya membuat pindaian bagian-bagian penting untuk kemudian saya unggah di sistem EMAS. Namun, sebelumnya saya meminta kepada para mahasiswa untuk mencari terlebih dahulu bentuk digitalnya. Jika memang tidak ada, baru saya pindai dan unggah. Saya sadar para mahasiswa yang kebanyakan generasi Z merupakan generasi digital native. Mereka tidak terlalu menyukai uraian panjang dan njelimet. Mereka lebih menyukai konten-konten yang bersifat micro-storytelling. Dalam hal ini saya tetap ‘memaksa’ mereka untuk tetap membaca versi lengkap atau dalam bahasa aslinya jika mereka menyebutkan beberapa literatur dalam tugas-tugas mereka. Selain itu juga sebagai upaya membimbing mereka supaya berpikiran kritis, memiliki kemampuan menyeleksi dan tidak hanya menerima informasi secara mentah-mentah.

Situasi pandemi semakin mempercepat revolusi teknologi meskipun kita sempat menghadapinya dengan terengah-engah dan nyaris kewalahan. Kita harus dengan cepat beradaptasi. “…sebelum sebagian besar penduduk dunia ini menjadi kutu buku, kita telah sampai pada satu masa ketika dunia melesat ke alam audio-visual, virtual, dan multimedia,” tulis Prof. Melani Budianta dalam artikelnya berjudul “Pada Mulanya Sebuah Buku” dalam Bukuku Kakiku (2004). Kultur menonton kita semakin kuat dibandingkan kultur membaca. Bahkan, sebagai penunjang salah satu mata kuliah, saya dan rekan-rekan lain membuat video pendek beberapa materi yang diunggah di youtube. Namun, saya tetap mewajibkan para mahasiswa untuk membaca berbagai bahan bacaan yang digunakan sebagai referensi tugas-tugas mereka. Walaupun tugas mereka salah satunya dalam bentuk video essay.

“Dalam proses menulis, kita harus banyak membaca. Namun, apabila kita menulis, kita tidak bisa membaca,” demikian keluh Romo Franz Magnis-Suseno dalam artikel “Bukuku, Surgaku” yang terdapat dalam Bukuku Kakiku (2004). Situasi pandemi justru menyadarkan saya untuk menyediakan waktu khusus membaca. Setidaknya membaca yang memerlukan konsentrasi dan tidak sekedar membaca pada waktu luang untuk kelak menulis fiksi maupun non-fiksi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *