Terkait dengan sejarah obyek turisme di Hindia-Belanda, tulisan ini mengangkat konsep Tourist Area Lifecycle (TLC) dari R.W.Butler (1980). Butler dalam artikelnya ‘The Concept of a Tourist Area Cycle of Evolution: Implication for Management of Resources’ (1980) menyebutkan bahwa area turis (obyek turisme) dinamis dan mereka dapat berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Perkembangan dan perubahan ini tidak berlangsung dengan cepat. Butler menggunakan istilah evolusi alih-alih revolusi.
Butler mengemukakan hypothetical evolution of a tourist area yang terdiri dari beberapa tahap. Tahap pertama adalah exploration (penemuan). Pada tahap ini memiliki karakteristik dengan sedikitnya jumlah turis. Tempat tersebut memiliki potensi turisme yang berada pada tahapan identifikasi. Identifikasi menunjukkan tempat tersebut memiliki daya tarik untuk dikembangkan misalnya karena didukung oleh keindahan alam yang masih alami. Apabila ada yang mengunjungi tempat tersebut, jumlah pengunjung masih sedikit. Dalam proses ini ada interaksi dan komunikasi antara pengunjung dan penduduk lokal. Hubungan antara pengunjung dan penduduk lokal ini memungkinkan untuk menjadikan alasan pengembangan sebuah area menjadi tujuan turisme.
Dalam kaitannya dengan situasi pada masa Hindia-Belanda para pejalan, penjelajah sesungguhnya memiliki peran dalam penemuan obyek turisme di Hindia-Belanda mengingat tempat yang dikunjungi belum dikenal sehingga kategori turis belum dapat dimasukkan di sini. Obyek turisme (daerah-daerah tertentu) tersebut dicatat dan masuk dalam buku catatan perjalanan yang ditulis oleh para pejalan tersebut. Selanjutnya daerah-daerah tersebut dapat kita temukan dalam buku panduan turisme.
Tahap kedua adalah involvement (keterlibatan). Dengan semakin meningkatnya jumlah pengunjung dan kunjungan yang semakin teratur membuat pemerintah lokal terlibat dalam proses ini. Mereka mulai menyediakan fasilitas utama bahkan pelayanan jasa khusus bagi para pengunjung meskipun dalam skala dan jumlah terbatas.
Sehubungan dengan perkembangan obyek turisme pada masa Hindia-Belanda, keterlibatan antara pemerintah lokal dan Hindia-Belanda serta pihak lain seperti para pejabat dalam perusahaan pelayaran, kereta api, perhotelan, perbankan, asuransi dalam pembentukan sebuah lembaga. Lembaga tersebut adalah Vereeniging Toeristenverkeer (Perhimpunan turisme ) yang didirikan berdasarkan surat keputusan Gubernur Jenderal 13 April 1908.
Tahap ketiga adalah development (pengembangan). Pada tahap ini sudah mencerminkan daerah turisme yang telah terdefinisi dengan baik. telah ada kunjungan turis dalam jumlah besar. Pada tahap ini jenis turis juga berubah.
Beberapa obyek turisme di Hindia-Belanda yang pada awalnya belum menjadi obyek turisme telah menjadi obyek turisme. Obyek-obyek tersebut dapat kita ketahui dari buku catatan perjalanan. Obyek-obyek tersebut kemudian masuk dalam buku panduan turisme baik yang diterbitkan secara resmi oleh pemerintah maupun pihak swasta (perusahaan pelayaran).
Berbagai fasilitas dan sarana, khususnya infra struktur seperti jalan raya, jalur kereta, pelabuhan, hotel, restoran telah siap. Fasilitas itu sebenarnya tidak khusus dibangun untuk turisme. Misalnya kereta api yang pada awalnya ditujukan untuk mengangkut komoditas perkebunan, pada masa sesudahnya digunakan untuk mengangkut penumpang manusia.
Tahap keempat adalah consolidation (konsolidasi). Pada tahap ini sektor turisme menunjukkan dominasi dalam struktur ekonomi pada suatu kawasan. Ada kecenderungan dominasi jaringan internasional semakin kuat memegang peranannya pada kawasan turis atau daerah tujuan turisme.
Daerah-daerah tertentu di Hindia-Belanda termasuk dalam daerah yang dikunjungi oleh para turis internasional dan masuk dalam itinerario turisme internasional. Misalnya Jawa, Sumatra, Bali. Beberapa perusahaan pelayaran internasional menjadikan Jawa, Sumatra, Bali sebagai tujuan dari rangkaian tujuan turisme mereka.
Tahap kelima adalah stagnation (stagnasi). Pada tahap ini angka kunjungan tertinggi telah tercapai dan beberapa periode menunjukkan angka yang cenderung stagnan. Meskipun angka kunjungan masih relatif tinggi, sebenarnya daerah tujuan itu tidak menarik lagi bagi para turis. Para turis yang masih datang adalah mereka yang termasuk para turis yang loyal dengan beberapa alasan.
Tahap stagnasi sepertinya tidak dialami oleh turisme Hindia-Belanda. Pada awal masa krisis dunia awal tahun 1930-an dan menjelang meletusnya Perang Dunia II, sasaran turis yang sebelumnya adalah turis Amerika, Australia, dan Eropa yang ada di Eropa beralih pada orang Eropa yang ada di sekitar Hindia-Belanda, seperti Singapura, Malaya. Bahkan orang Belanda yang ada di Hindia-Belanda sendiri dijadikan target dengan menawarkan berbagai obyek menarik untuk dikunjungi, misalnya di Jawa, Sumatra, dan Bali.
Tahap keenam adalah decline (kemunduran) dan rejuvenation (pembaruan). Sebuah area turisme yang tidak dapat bersaing dengan obyek turisme baru akan menghadapi kemunduran, baik secara spasial dan jumlah. Obyek turisme tersebut tidak lagi menarik bagi para turis tetapi masih dapat dikunjungi, khususnya oleh turis domestik. Di lain sisi , jika ingin meneruskan maka perlu dilakukan perubahan dan pembaruan terkait obyek turisme tersebut.
Tahap kemunduran turisme di Hindia-Belanda, khususnya yang sangat drastis yaitu pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945. Pada masa pendudukan Jepang, kegiatan turisme dapat dikatakan menurun bahkan cenderung tidak ada. Khususnya yang dilakukan oleh orang Belanda di Hindia-Belanda. Apabila dikaitkan dengan kegiatan turisme, kemungkinan besar masih ada dan dilakukan oleh pasukan Jepang. Misalnya pasukan Jepang yang singgah di Bali atau Danau Toba. Namun, data mengenai hal tersebut sangat sedikit dan kemungkinan tidak ada. Informasi mengenai hal ini kemungkinan diperoleh melalui catatan atau memoir mantan perwira Jepang yang bertugas di Indonesia. Dengan kata lain situasi turisme pada masa pendudukan Jepang di Indonesia menjadi tidak menentu.
foto: Parapat di tepi Danau Toba sekitar tahun 1930 (koleksi KITLV Leiden)
Nice post,thanks for sharing
Visit Us