Ketika harus menulis historiografi yang berlatar masa pendudukan Jepang di Indonesia kita seringkali dihadapkan pada tersedianya sumber, khususnya arsip. Hal ini pula yang dikemukakan oleh Professor Aiko Kurasawa dalam surat elektroniknya ketika menjawab pertanyaan saya. Oleh karena itu sumber berupa novel, catatan perjalanan, memoir dari mereka yang pernah ditugaskan di Indonesia menjadi begitu berharga, tulisnya.
Terkait dengan bab-bab terakhir naskah disertasi saya yang periodenya berhubungan dengan masa pendudukan Jepang di Indonesia, maka novel Kembang Kemboja (2013, cetakan kedua)-karya Abe Tomoji salah seorang sastrawan Jepang, memberikan informasi berharga. Novel berjudul asli Shi no Hana dan diterbitkan pada 1946 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Yovinza Bethvine. setidaknya memiliki rentang waktu yang tidak terlalu jauh dengan periode yang saya bahas. Informasi mengenai novel ini saya peroleh dari salah seorang pengajar Program Studi Jepang FIB, Dewi Anggraeni, M.Hum.
Demikian halnya informasi yang diuraikan dalam sekapur sirih oleh Prof. Dr. Kazuaki Kimura mengenai strategi pemerintah Jepang pada masa itu membuat nilai tambah bagi novel ini. Sebulan sebelum pecah perang Asia Pasifik, Abe Tomoji (1903-1973)menerima surat perintah militer dari Jenderal Imamura Hitoshi selaku Komandan Tentara Angkatan Darat. Abe Tomoji dijadikan anggota Pasukan Propaganda. Tomoji adalah anggota milisi pasukan unit 16 yang ditugaskan untuk mengadakan operasi militer ke daerah selatan. Pada bulan Januari 1942 Tomoji berangkat meninggalkan Tokyo menuju Jawa. Pasukan unit 16 berlabuh dekat Tanjung Aulan (Teluk Banten) Jawa Barat dan sempat terkatung-katung setelah kapal mereka ditorpedo kapal musuh sehingga tenggelam (hal. V)
Dalam Pasukan Propaganda tersebut selain Abe Tomoji, terdapat pula para sastrawan seperti Asano Akira, Ooki Atsuo, Kitahara Takeo, Takeda Rintaro. Ada pula kritikus seperti Ooya Souchi, ilustrator seperti Ono Saseo dan Yokohama Ryuuichi, serta pemusik Iida Nobuo. Mereka semua mendapat tempat yang istimewa di kalangan pemerintah karena merupakan salah satu strategi dalam perang. Seperti halnya yang dilakukan tentara NAZI di Jerman. Jepang mengirimkan para budayawan ke berbagai wilayah yang mereka kuasai, seperti Borneo, Sumatra, Jawa, Malaysia, Vietnam, dan Filipina. Semuanya terjadwal dengan rapi, seperti yang terdapat dalam buku Nihon Bunkei (harus dicari).
Berbagai hal yang harus dilakukan oleh para budayawan tersebut dikenal dengan sebutan sastra propaganda. Para sastrawan, seperti Abe Tomoji, Kitahara Takeo menulis novel berlatar belakang Jawa, wilayah yang kelak akan digunakan oleh pasukan Jepang untuk mengetahui situasi dan kondisi. Berdasarkan latar belakang itu pasukan Jepang dapat merancang strategi yang sesuai dnegan keadaan medan. Sementara untuk visualisasinya dikerjakan oleh Ono Saseo sebagai illustrator. Dia membuat sketsa-sketsa yang menggambarkan situasi pada masa itu.
Setelah Pasukan Propaganda unit 16 berhasil menundukkan pasukan Belanda di Jawa pada 9 Maret 1942, mereka melaksanakan operasi militer. Caranya adalah memberikan laporan penelitian tentang organisasi-organisasi budaya dan buku-buku peninggalan Belanda yang terdiri dari buku ilmu pengetahuan dan seni. Abe Tomoji pun mendapatkan tugas khusus.
Bersama Ono Saseo dan Matsui Suisei, mereka diperintahkan untuk meneliti buku-buku tentang Batavia dan Nusantara. Akibat tugas ini, yang berkaitan dengan kegiatan ‘turisme’ mereka terpikat dengan alam, pemandangan pulau Jawa dan Bali serta budayanya (tari-tarian, wayang). Tomoji yang cenderung kepada sikap pro kemerdekaan menghadapi dilemma. Di bawah tekanan sebagai anggota pasukan propaganda dia harus melakukan hal yang bertentangan dengan hati nurani. Oleh karena itu sekembalinya Tomoji dari operasi militer, ia mulai melindungi para budayawan dan ilmuwan Belanda di Batavia (hal. vi)
Sementara itu kesehatan Tomoji mengalami kemunduran dan memburuk. Oleh karena itu ia mendapatkan izin khusus dari pihak militer untuk memulihkan kesehatannya. Ia pergi ke Jawa Timur, tepatnya daerah Selekta, daerah pegunungan yang terletak di luar kota Malang. Ia dirawat di sana selama kurang lebih dua bulan. Wilayah Selekta ini lah yang menjadi latar belakang nover Kembang Kemboja.
Sekembali dari Selekta, Tomoji bekerja di kantor berita di Batavia. Tugasnya adalah menyensor naskah berita yang akan disiarkan ke luar negeri seperti Australia. Pada bulan Desember 1942, Tomoji kembali ke Jepang dan tiba di Tokyo pada akhir bulan Desember 1942.
Apabila kita membaca novel ini, kita akan menemukan adanya hubungan antara novel (fiksi) dengan memoir (non fiksi). Novel ini mengisahkan tentang seorang tentara Jepang Hinobe yang ditugaskan di Indonesia. Kesehatannya yang memburuk membuat dirinya diizinkan beristirahat di daerah pegunungan di Jawa Timur. Hal itu pun atas bantuan sahabatnya, Kibi. Pertemuannya dengan tokoh-tokoh lain, seperti Dokter K, Tuan F, Nyonya W, Van den Brink membangun kisah dalam novel ini.
Dalam hal ini saya lebih tertarik pada latar dibandingkan kisah yang dituangkan. Meskipun hal tersebut masih harus dibuktikan setidaknya kepingan data tersebut memberikan informasi penting bagi penelitian saya. Misalnya direktur hotel tempat Tomoji menginap adalah berkebangsaan Swiss (hal. 5). Simak uraian berikut: “Hotel ini, area villa, kolam renang, tenaga listrik yang digunakan di rumah-rumah pribadi, perkebunan buah, peternakan, dan segalanya itu milik orang Belanda. Namun, setelah Jepang menduduki Jawa, segala tanggung jawab diserahkan kepada pria Swiss itu.” (hal. 6). Hal serupa dapat kita temukan dalam memoir salah seorang perwira Jepang yang ditugaskan di Sumatra, tepatnya di Brastagi. Manajer hotel tempat ia menginap juga berkebangsaan Swiss.
Wilayah di pegunungan setelah Jepang mendarat di Jawa menjadi tempat persembunyian dan perlindungan orang-orang berkebangsaan Belanda. Alasannya jelas karena wilayahnya terpencil, jauh dari keramaian dan tidak banyak menarik perhatian. Seperti narasi dari Van den Brink mengenai hal tersebut (hal. 91).
Masuknya pasukan Jepang ke Jawa memberikan pengaruh dalam kegiatan turisme di Hindia-Belanda. Di sini dapat dikatakan kegiatan turisme tidak berhenti secara total. Alasannya adalah masih ada kegiatan turisme di wilayah-wilayah tertentu, seperti halnya daerah Selekta di Jawa Timur. Hal ini diperkuat dengan iklan-iklan dalam surat kabar terbitan Surabaya Soerabaijasch handelsblad yang menawarkan villa dan hotel di wilayah tersebut.
Novel ini menjadi salah satu sumber penting yang memberikan informasi dan menjadi satu goresan warna dari lanskap periode akhir penelitian saya pada . Kegiatan turisme ketika Jepang masuk tidak seluruhnya berhenti total. Kegiatan itu masih ada meskipun dalam skala dan bentuk yang berbeda. Pasukan Jepang yang bertugas di Indonesia pun menikmati daerah-daerah turisme seperti Jawa, Sumatra, Bali. Sumber mengenai hal ini masih harus ditemukan.