Setelah pesawat tinggal landas dari Kuala Lumpur menuju Amsterdam, maka ritual berikutnya adalah menikmati film, musik, makanan atau tidur. Perjalanan selama kurang lebih empat belas jam dengan pesawat terasa melelahkan. Kondisi fisik yang memasuki kepala 4 memang tidak bisa ditipu. Akhirnya pesawat mendarat di Schiphol, Amsterdam.
Berbeda dengan tiga tahun, enam tahun, dan lima belas tahun silam, rasa ingin tahu mengalahkan rasa lelah dan mengantuk akibat jet lag. Justru ketika (kembali) mengunjungi Leiden, perasaan aneh seperti menyergap. Hal ini yang mungkin luput dari pengamatan para pakar ahli turisme yaitu menganalisis ‘perasaan’ para ‘turis’. Kemungkinan juga jika hal ini diilmiahkan, akan masuk dalam kategori psychotourism. Entahlah.
Ketika dalam konferensi 2012 di Antwerpen diumumkan bahwa tuan rumah untuk konferensi 2015 adalah Leiden, saat itu sejenak bersorak. Kota yang menyimpan banyak kenangan di awal abad ke-21. Terakhir berkunjung adalah 2005 dan masih tidak banyak berubah. Menjelang keberangkatan pada bulan Agustus 2015, muncul perasaan dan pertanyaan apakah suasana, tata kota dan segalanya sama. Persis seperti sepuluh tahun, lima belas tahun silam? Pertanyaan inilah yang berkecamuk.
Hasilnya, terbukti. Di sini, di Leiden waktu seolah dihentikan. Maksudnya adalah segalanya nyaris dan memang sama. Oleh karena itu saya menggunakan frasa, ‘ di sini waktu seolah dihentikan’. Coba bayangkan, lima belas tahun silam, Anda menyusuri jalan atau memasuki sebuah toko yang sama dan segalanya tak berubah. Perasaan ‘aneh’ antara senang, gembira, melankolis, romantis, nostalgis berkecamuk dan mengaduk-aduk emosi. Kita yang berasal dari masa kini, seolah terlempar ke masa lalu dan menjalani serta mengalami hal pada masa silam.
Psychotourism ini masih berlanjut. Beberapa jam pertama, saya menyusuri terusan jalan dari arah Station Centraal Leiden. Selumnya (meskipun dari Indonesia sudah mengetahui), saya menginap di hotel yang pada 2000-2001 adalah apartemen tempat tinggal saya. Saya mengenali tangga-tangga, tempat nongkrong di malam hari serta pemandangan dari jendela yang menghadap ke belakang.
Haarlemerstraat tidak berubah. Sebidang jalan yang kanan-kirinya berderet toko sama sekali tak berubah. Hanya nama-nama toko yang mengalami perubahan. Setelah berjalan terus dan menyeberangi kanal, di sana berdiri gedung Vroom en Dreesman (V n D). Melewati lorong Pieterskerk, menyeberangi Breestraat, menuju Academie Gebouw di Rapenburg. Perjalanan dilanjutkan menuju Lak Theater (Lipsius), situs KITLV-Leiden, masjid Al Hijra dan kembali ke hotel. Segalanya sama tak berubah.
Satu hal yang memberikan dan mewarnai psychotourism ini, yaitu ketika melewati Breestraat saya menemukan kembali De Slegte, toko buku langganan yang selain menjual buku-buku baru, juga menjual buku-buku bekas dengan harga sangat bersahabat. Sebelumnya, sempat kecewa mengingat kabar melalui internet mengenai ditutupnya toko ini. Sebelum kembali ke Tanah Air, beberapa buku saya borong. Alhasil, psychotourism ini semakin kaya dan berwarna.