Al-ḥamdu l-illāhi rabbi l-ʿālamīn saya mengucap lirih. Kebahagiaan dan kesedihan sejatinya adalah karunia Allah. Siang itu, 23 Agustus 2021 artikel opini saya meraih juara pertama dalam Lomba Penulisan Opini 76 Tahun Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh. Lomba tersebut diselenggarakan oleh Perpusnas Press.
Tanda-tanda menjadi salah satu pemenang sepertinya sudah tampak. Beberapa hari sebelumnya, pada 20 Agustus 2021, melalui pesan WA saya diminta untuk hadir dalam Talkshow Penulisan 23 Agustus 2021 sekaligus pengumuman pemenang lomba penulisan opini. Salah satu narasumber adalah Gol A Gong, salah satu inspirator saya dalam kegiatan menulis. Narasumber lainnya adalah Muhammad Ivan. Selain saya, menurut isi WA ada dua orang lainnya yang turut diundang dalam acara Talkshow.
Dari karya-karya Gol A Gong yang pernah saya kenal sejak di bangku sekolah menengah, salah satunya adalah Balada si Roy. Serial cerita bersambung yang muncul di majalah Hai sekitar tahun 1988. Beberapa hal menarik perhatian saya, selain petualangannya adalah kisah kuliner khas Serang, Banten yaitu nasi sumsum bakar. Membacanya saja sudah membangkitkan air liur. Karya menarik lainnya adalah Perjalanan Asia (1993). Saya menemukan buku tersebut ketika sudah duduk di bangku kuliah. Membaca petualangannya dengan sepeda di beberapa negara Asia, sangat layak jika Gol A Gong menjadi salah satu perintis petualang backpacker Indonesia era tahun 1980-an. Jauh sebelum berbagai fasilitas tersedia, serta maraknya media sosial yang membuat kegiatan perjalanan menjadi lebih tampak mudah. Ketika kemudian ia mendirikan Rumah Dunia, saya dan istri berkeinginan untuk berkunjung sambil mengajak anak-anak kami. Namun, rupanya belum diberikan kesempatan oleh Allah. Mudah-mudahan di lain kesempatan Allah mengizinkan.
Awalnya, saya sempat tak peduli, apakah saya akan menjadi pemenang atau tidak dalam lomba tersebut. Saya pun tak peduli dengan hadiahnya. Menurut saya yang terpenting adalah ikut berpartisipasi dan jika beruntung gagasan saya dapat dipublikasikan. Seperti tahun lalu, tahun 2020, artikel esai saya terpilih dalam 100 karya terpilih dalam kegiatan Nulis dari Rumah yang diselenggarakan oleh Kemenparekraf dan IKAPI. Selain mendapatkan ‘uang’, artikel saya dipublikasikan dalam buku Saatnya Menjadi Bangsa yang Tangguh yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia pada tahun 2020 lalu.
Ketika panitia mulai menyebutkan karya-karya yang terpilih, saya agak grogi. Satu-persatu nama dua belas penulis berlalu, nama saya belum muncul. Juara ketiga. Belum juga. Waduh. Juara kedua. Apalagi. Hingga akhirnya juara pertama. Nama saya muncul. Al-ḥamdu l-illāhi rabbi l-ʿālamīn. Dalam acara tersebut saya sempat membagikan sedikit pengalaman dan yang tidak kalah pentingnya adalah berkenalan dengan sang inspirator, Gol A Gong walaupun secara virtual.
Tahun lalu, dalam lomba yang juga diselenggarakan oleh Perpusnas Press sebenarnya saya mengirimkan artikel. Namun, sayang saya belum beruntung. Kecewa? Tentu saja. Namun, kegagalan, ketidakberhasilan merupakan hal yang biasa dalam kehidupan. Jika ingin berhasil, pasti kita akan merasakan kegagalan dan ketidakberhasilan terlebih dahulu. Itu merupakan proses yang harus kita lalui karena semua sudah ditentukan oleh Allah.
Tahun 2021, ketika Perpusnas Press kembali menyelenggarakan lomba menulis saya memilih tema yang saya akrabi selama hampir 20 tahun yaitu kepariwisataan. Kebetulan dari lima subtema yang ditentukan, ada satu yang menurut saya sesuai dengan minat saya yaitu Indonesia dan destinasi wisatanya. Maka saya mengirimkan artikel berjudul ‘Melacak Jejak Destinasi Wisata di Indonesia’. Artikel ini saya tulis berdasarkan gagasan yang sebenarnya pernah tertuang dalam tesis dan disertasi. Dalam kesempatan lomba tersebut, saya mengelaborasinya dengan situasi kekinian, situasi pandemi. Ketika kita tidak dapat dengan leluasa melakukan perjalanan wisata. Hal yang penting adalah menyampaikan gagasan kepada khalayak dengan bahasa sederhana, mudah dipahami.
Saya teringat dalam suatu kesempatan mengikuti sidang promosi di kampus beberapa tahun silam. Salah seorang penguji menanyakan kepada promovendus, sekiranya ada anak kecil atau orang awam yang menanyakan penelitian atau disertasi yang ditulis, bagaimana menjelaskannya. Promovendus tersebut tampak kebingungan. Berbagai teori dan konsep yang tumpah-ruah tak kuasa untuk menjelaskan hal yang sebenarnya sederhana. Tepat sekali, di luar sidang promosi, gagasan yang kita susun harus dapat disajikan dengan sederhana dan dapat dipahami oleh masyarakat umum, bahkan oleh anak kecil. ‘Tidak menggunakan bahasa yang ndakik-ndakik (ketinggian, tidak membumi)’, celoteh salah seorang kawan penulis. Ini juga tidak kalah sulitnya. Tetap sehat. Tetap Semangat membaca dan menulis.